Mencari Makan Sendiri

Mencari makan sendiri ini bukan judul kiasan. Ia keadaan sebenarnya ketika saya di rumah sendiri karena anak-anak dan istri hendak pergi untuk sebuah alasan dan saya memilih di rumah sendiri juga karena sebuah alasan. Cuma di mata istri, jam bepergian itu dianggap kurang strategis. Terlalu pagi untuk makan siang dan terlalu siang untuk makan pagi. Jadi istri merasa bersalah meninggalkan suaminya sendirian tanpa bisa meladeni karena cuma sejenak dari jam makan siang, ia telah keburu pergi.

Melihat rasa bersalah istri itu saya juga ikut bersalah. Di matanya saya jadi tampak sebagai suami yang lemah, yang cuma untuk makan saja, harus dirawat sedemikian rupa. Tanpa pelayanan itu ia merasa seolah-olah sedang menzalimi suami. Perasaan ini pasti berasal dari kesalahan saya sendiri. Karena memang begitulah kebiasaan saya makan dan kini kebiasaan itu telah memakan korban. Maka demi menebus kesalahan, saya mencoba bergembira dengan keadaan ini. Toh seluruhnya juga telah tersedia walau apa yang disebut seluruhnya itu hanya nasi, sayur, sambal dan krupuk.

Setelah ditinggal sendirian, ternyata tak mudah makan sendirian terutama jika harus menyiapkannya sendiri. Ini pasti bukan pekerjaan sulit. Kenapa ia menjadi sulit, pasti karena ada yang menjadikannya sulit. Siapa itu: ia bernama refleks yang telah mati. Di dalam diri ini ada banyak refleks yang pasif, malas dan bahkan mati karena kepadanya tak lagi diberi atensi. Di depan masjid depan rumah ada sepetak lapangan bulutangkis, olah raga kegemaran saya di masa sekolah. Sekali waktu saya kembali mencoba bermain dengan tetangga setelah hampir sepuluh tahun berhenti. Hasilnya mengejutkan. Ayunan raket pertana saya di permainan itu, langsung menjadi ayunan terakhir.

Apa sebabnya? Otak saya mengayun dengan fantasi seorang yang masih SMP sementara tubuh saya sudah jauh menua. Antara otak dan otot akhirnya tidak nyambung. Pukulan pertama yang bersemangat itu luput. Ketika saya hendak memungut shuttlecock yang jatuh itulah saya hanya bisa membungkuk tapi tak bisa tegak lagi. Langsunng jadi patung tanpa bisa bergerak karena pinggang seperti mati. Seluruh tukang pijit sudah saya kerahkan tapi hasilnya, pinggang saya masih meninggalkan masalah hingga saat ini.

Itulah korban refleksi yang telah mati. Begitu juga denga refleks otak dan hati, semua tergantung apakah ia mendapat perawatan atau pembiaran. Jika terawat ia aktif dan hidup. Jika dibiarkan ia pasif dan mati. Begitu juga dengan pikiran. Jika ia selalu mendapat atensi dan pelatihan, akan aktif sekali. Rasa dengki misalnya, adalah jenis perasaan yang amat rajin mendapat pelatihan. Hasilnya bisa ditebak. Setiap melihat kabar keberhasilan orang lain kedengkian adalah perasaan yang akan muncul sebagai awalan. Karena terus menjadi kebiasaan, ia lalu menjadi refleks. Jika dengki ternyata bukan berasal dari niat jahat, tetapi sekadar hasil dari refleks, berarti seseorang bisa menyiapkan refleks tandingan. Dan semua juga bisa dibangun lewat kebiasaan. Caranya mudah: lakukan saja kebiasaan pembalikan.

Contohnya: gembiralah saat melihat orang bergembira. Sulit itu pasti. Tapi cobalah. Memaksa diri pada awalnya. Paksa agar kegembiraan itu muncul kalau perlu dengan segala cara. Kalau perlu sambil menari, menyanyi-nyanyi, menghibur diri atau malah berteriak-teriak, sampai kegembiraan itu benar-benar muncul. Percayalah, jika latihan ini terus-menerus diusahakan, kegemibaran itu akan benar-benar muncul. Gembira melihat orang lain bergembira, benar-benar akan menjadi kebiasaan.
(/)

Leave a comment